Cita cita ekonomi merdeka
Pertumbuhan
ekonomi yang spektakuler tidak
mencerminkan kesejahteraan rakyat. Yang terjadi, sebagian besar
aset dan pendapat ekonomi hanya dinikmati segelintir orang. Sementara mayoritas
rakyat tidak punya aset dan akses terhadap sumber daya ekonomi. Akhirnya,
terjadilah fenomena: 1% warga negara makin makmur, sementara 99% warga negara
hidup pas-pasan.
Akhirnya,
kita patut bertanya, apakah pembangunan ekonomi semacam itu yang menjadi
cita-cita kita berbangsa? Silahkan memeriksa cita-cita perekonomian kita ketika
para pendiri bangsa sedang merancang berdirinya negara Republik Indonesia ini.
Bung Hatta
pernah berkata, “dalam suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang alamnya kaya
dan tanahnya subur, semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung Hatta, Indonesia
Merdeka tak ada gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup melarat.
“Kemerdekaan nasional tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya duduk
sebagai biduanda dari kapital asing,” kata Bung Hatta. (Pidato
Bung Hatta di New York, AS, tahun 1960)
Karena
itu, para pendiri bangsa, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, kemudian
merumuskan apa yang disebut “Cita-Cita Perekonomian”. Ada dua garis besar
cita-cita perekonomian kita. Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial
dan feodalistik. Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Artinya,
dengan penjelasan di atas, berarti cita-cita perekonomian kita tidak
menghendaki ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak menginginkan penumpukan
kemakmuran di tangan segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas rakyat.
Tegasnya, cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh rakyat.
Supaya
cita-cita perekonomian itu tetap menjiwai proses penyelenggaran negara, maka
para pendiri bangsa sepakat memahatkannya dalam buku Konstitusi Negara kita:
Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan sendi utama
bagi pelaksanaan politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia.
Dalam
pasal 33 UUD 1945, ada empat kunci perekonomian untuk memastikan kemakmuran
bersama itu bisa tercapai. Pertama, adanya keharusan bagi peran negara yang
bersifat aktif dan efektif. Kedua, adanya keharusan penyusunan rencana ekonomi
(ekonomi terencana). Ketiga, adanya penegasan soal prinsip demokrasi
ekonomi, yakni pengakuan terhadap sistem ekonomi sebagai usaha bersama (kolektivisme).
Dan keempat, adanya penegasan bahwa muara dari semua aktivitas ekonomi,
termasuk pelibatan sektor swasta, haruslah pada “sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Sayang,
sejak orde baru hingga sekarang ini (dengan pengecualian di era Gus Dur),
proses penyelenggaran negara sangat jauh politik perekonomian ala pasal
33 UUD 1945. Pada masa orde baru, sistem perekonomian kebanyakan didikte oleh
kapital asing melalui kelompok ekonom yang dijuluki “Mafia Barkeley”. Lalu,
pada masa pasca reformasi ini, sistem perekonomian kebanyakan didikte secara
langsung oleh lembaga-lembaga asing, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Akibatnya,
cita-cita perekonomian sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan pun kandas.
Bukannya melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, tetapi malah mengekal-kannya,
yang ditandai oleh menguatnya dominasi kapital asing, politik upah murah,
ketergantungan pada impor, dan kecanduan mengekspor bahan mentah ke
negeri-negeri kapitalis maju.
Ketimpangan
ekonomi kian menganga. Kemiskinan dan pengangguran terus melonjak naik.
Mayoritas rakyat (75%) bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan hukum dan
jaminan sosial. Sementara puluhan juta lainnya menjadi “kuli” di negara-negara
lain.
Daftar Pustaka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar