BEBERAPA INDIKATOR KESENJANGAN DAN
KEMISKINAN
- INDIKATOR
KESENJANGAN
Ada sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan
dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni
axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literatur
adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the
generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien gini.
Yang paling sering dipakai adalah koefisien gini.
Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan
sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 :
ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.
Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal
dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau
semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat
ketidakmerataan distribusi pendapatan.
- INDIKATOR
KEMISKINAN
Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara
ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar
kebutuhan hidup. Badan Pusat
Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari
besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan
minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan
digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan
minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta
aneka barang dan jasa.
Dengan kata lain, BPS menggunakan 2 macam
pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan
pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang
sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan Head Count Index
merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin
adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis
kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan non
makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis
kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (non food
line).
Untuk mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang
diperkenalkan oleh Foster dkk (1984) yang sering digunakan dalam banyak studi
empiris. Pertama, the incidence of proverty : presentase dari populasi yang
hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis
kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H. Kedua, the dept of proverty yang
menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan indeks
jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan proverty gap index. Indeks
ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis
kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut
Daftar Pustaka :
Buku
Perekonomian Indonesia Dr. Tulus T.H. Tambunan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar